Sunday, 04 January 2009
Dari Luthfie Asyaukanie untuk Israel
Keterpesonaan Luthfie pada Israel
Beberapa Catatan dari Israel
Sumber :
http://www.invidiousclub.com/index.php?option=com_content&task=view&id=928&Itemid=2
Saya baru saja melakukan perjalanan ke Israel. Banyak hal berkesan yang saya dapatkan dari negeri itu, dari soal Kota Tua yang kecil namun penuh memori konflik dan darah, Tel Aviv yang cantik dan eksotis, hingga keramahan orang-orang Israel. Saya kira, siapapun yang menjalani pengalaman seperti saya akan mengubah pandangannya tentang Israel dan orang-orangnya.
Ketika transit di Singapore, seorang diplomat Israel mengatakan kepada saya bahwa orang-orang Israel senang informalities dan cenderung rileks dalam bergaul. Saya tak terlalu percaya dengan promosinya itu, karena yang muncul di benak saya adalah tank-tank Israel yang melindas anak-anak Palestina (seperti kerap ditayangkan oleh CNN and Aljazira). Tapi, sial, ucapan diplomat itu benar belaka. Dia bukan sedang berpromosi. Puluhan orang yang saya jumpai dari sekitar 15 lembaga yang berbeda menunjukkan bahwa orang-orang Israel memang senang dengan informalities dan cenderung bersahabat.
Saya masih ingat dalam sebuah dinner, seorang rabbi mengeluarkan joke-joke terbaiknya tentang kegilaan orang Yahudi. Dia mengaku mengoleksi beberapa joke tapi kalah jauh dibandingkan Gus Dur yang katanya “more jewish than me.” Dalam jamuan lunch, seorang diplomat Israel berperilaku serupa, membuka hidangan dengan cerita jenaka tentang persaingan orang Yahudi dan orang Cina.
Tentu saja, informalities adalah satu bagian saja dari cerita tentang Israel. Pada satu sisi, manusia di negeri ini tak jauh beda dengan tetangganya yang Arab: hangat, humorous, dan bersahabat. Atau semua budaya Mediteranian memang seperti itu? Tapi, pada sisi lain, dan ini yang membedakannya dari orang-orang Arab: kecerdasan orang-orang Israel di atas rata-rata manusia. Ini bukan sekadar mitos yang biasa kita dengar. Setiap 2 orang Israel yang saya jumpai, ada 3 yang cerdas. Mungkin ini yang menjelaskan kenapa bangsa Arab yang berlipat jumlahnya itu tak pernah bisa menandingi Israel.
Kecerdasan itu seperti kecantikan. Ia memancar dengan sendirinya ketika kita bergaul dengan seseorang. Tidak yang laki-laki, tidak yang perempuan, semua orang Israel yang saya ajak bicara memancarkan kesan itu. Patutlah bahwa sebagian peraih nobel dan ilmuwan sosial besar adalah orang-orang Yahudi.
Yang membuat saya terkesima adalah bahwa orang-orang Israel, paling tidak para pejabat, pemikir, budayawan, diplomat, penulis, dan profesional, yang saya jumpai, semuanya lancar dan fasih berbahasa Arab. Mereka senang sekali mengetahui bahwa saya bisa berbahasa Arab. Berbahasa Arab semakin membuat kami merasa akrab. Belakangan baru saya ketahui bahwa bahasa Arab adalah bahasa formal/resmi Israel. Orang Israel boleh menggunakan dua bahasa, Ibrani dan Arab, di parlemen, ruang pengadilan, dan tempat-tempat resmi lainnya.
Kebijakan resmi pemerintah Israel ini tentu saja sangat cerdas, bukan sekadar mengakomodir 20 persen warga Arab yang bermukim di Israel. Dengan menguasai bahasa Arab, orang-orang Israel telah memecah sebuah barrier untuk menguasai orang-orang Arab. Sebaliknya, orang-orang Arab tak mengerti apa yang sedang dibicarakan di Israel, karena bahasa Ibrani adalah bahasa asing yang bukan hanya tak dipelajari, tapi juga dibenci dan dimusuhi. Orang-orang Israel bisa bebas menikmati televisi, radio, dan surat kabar dari Arab (semua informasi yang disampaikan dalam bahasa Arab), sementara tidak demikian dengan bangsa Arab.
Bahwa Israel adalah orang-orang yang serius dan keras, benar, jika kita melihatnya di airport dan kantor imigrasi. Mereka memang harus melakukan tugasnya dengan benar. Di tempat2 strategis seperti itu, mereka memang harus serius dan tegas, kalau tidak bagaimana jadinya negeri mereka, yang diincar dari delapan penjuru angin oleh musuh-musuhnya.
Saya sangat bisa memahami ketegasan mereka di airport dan kantor2 imigrasi (termasuk kedubes dan urusan visa). Israel dibangun dari sepotong tanah yang tandus. Setelah 60 tahun merdeka, negeri ini menjadi sebuah surga di Timur Tengah. Lihatlah Tel Aviv, jalan-jalannya seperti avenues di New York atau Sydney. Sepanjang pantainya mengingatkan saya pada Seattle atau Queensland. Sistem irigasi Israel adalah yang terbaik di dunia, karena mampu menyuplai jumlah air yang terbatas ke ribuan hektar taman dan pepohonan di sepanjang jalan.
Bangsa Israel akan membela setiap jengkal tanah mereka, bukan karena ada memori holocaust yang membuat mereka terpacu untuk memiliki sebuah negeri yang berdaulat, tapi karena mereka betul-betula bekerja keras menyulap ciptaan Tuhan yang kasar menjadi indah dan nyaman didiami. Mereka tak akan mudah menyerahkan begitu saja sesuatu yang mereka bangun dengan keringat dan darah. Setiap melihat keindahan di Israel, saya teringat sajak Iqbal:
Engkau ciptakan gulita
Aku ciptakan pelita
Engkau ciptakan tanah
Aku ciptakan gerabah
Dalam Taurat disebutkan, Jacob (Ya’kub) adalah satu-satunya Nabi yang berani menantang Tuhan untuk bergulat. Karena bergulat dengan Tuhan itulah, nama Israel (Isra-EL, orang yang bergulat dengan Tuhan) disematkan kepada Jacob. Di Tel Aviv, saya menyaksikan bahwa Israel menang telak bergulat dengan Tuhan.
Orang-orang Israel akan membela setiap jengkal tanah yang mereka sulap dari bumi yang tandus menjadi sepotong surga. Bahwa mereka punya alasan historis untuk melakukan itu, itu adalah hal lain. Pembangunan bangsa, seperti kata Benedict Anderson, tak banyak terkait dengan masa silam, ia lebih banyak terkait dengan kesadaran untuk menyatukan sebuah komunitas. Bangsa Yahudi, lewat doktrin Zionisme, telah melakukan itu dengan baik.
Melihat indahnya Tel Aviv, teman saya dari Singapore membisiki saya: “orang-orang Arab itu mau enaknya saja. Mereka mau ambil itu Palestina, setelah disulap jadi sorga oleh orang-orang Yahudi. Kenapa tak mereka buat saja di negeri mereka sendiri surga seperti Tel Aviv ini?” Problem besar orang-orang Arab, sejak 1948 adalah bahwa mereka tak bisa menerima “two state solution,” meski itu adalah satu-satunya pilihan yang realistik sampai sekarang. Jika saja orang-orang Palestina dulu mau menerima klausul itu, mungkin cerita Timur Tengah akan lain, mungkin tak akan ada terorisme Islam seperti kita lihat sekarang, mungkin tak akan ada 9/11, mungkin nasib umat Islam lebih baik. Bagi orang-orang Arab, Palestina adalah satu, yang tak bisa dipisah-pisah. Bagi orang-orang Israel, orang-orang Palestina tak tahu diri dan angkuh dalam kelemahan.
Sekarang saya mau cerita sedikit tentang Kota Tua Jerussalem, tentang al-Aqsa, dan pengalaman saya berada di sana. Percaya atau tidak, Kota Tua tidak seperti yang saya bayangkan. Ia hanyalah sekerat ladang yang berada persis di tengah lembah. Ukurannya tak lebih dari pasar Tanah Abang lama atau Terminal Pulo Gadung sebelum direnovasi. Tentu saja, sepanjang sejarahnya, ada perluasan-perluasan yang membentuknya seperti sekarang ini. Tapi, jangan bayangkan ia seperti Istanbul di Turki atau Muenster di Jerman yang mini namun memancarkan keindahan dari kontur tanahnya. Kota Tua Jerussalem hanyalah sebongkah tanah yang tak rata dan sama sekali buruk, dari sisi manapun ia dilihat.
Sebelum menuruni tangga ke sana, saya sempat melihat Kota Tua dari atas bukit. Heran seribu heran, mengapa tempat kecil yang sama sekali tak menarik itu begitu besar gravitasinya, menjadi ajang persaingan dan pertikaian ribuan tahun. Saya berandai-andai, jika tak ada Golgota, jika tak ada Kuil Sulayman, dan jika tak ada Qubbah Sakhra, Kota Tua hanyalah sebuah tempat kecil yang tak menarik. Berada di atas Kota Tua, saya terbayang Musa, Yesus, Umar, Solahuddin al-Ayyubi, Richard the Lion Heart, the Templer, dan para penziarah Eropa yang berbulan-bulan menyabung nyawa hanya untuk menyaksikan makam, kuburan, dan salib-salib. Agama memang tidak masuk akal.
Oleh Guide kami, saya diberitahu bahwa Kota Tua adalah bagian dari Jerussalem Timur yang dikuasai Kerajaan Yordan sebelum perang 1967. Setelah 1967, Kota Tua menjadi bagian dari Israel. “Dulu,” katanya, “ada tembok tinggi yang membelah Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat. Persis seperti Tembok Berlin. Namun, setelah 1967, Jerussalem menjadi satu kembali.” Yang membuat saya tertegun bukan cerita itu, tapi pemandangan kontras beda antara Jerussalem Timur dan Jerussalem Barat dilihat dari ketinggian. Jerussalem Timur gersang dan kerontang, Jerussalem Barat hijau dan asri. Jerussalem Timur dihuni oleh sebagian besar Arab-Muslim, sedangkan Jerussalem Barat oleh orang-orang Yahudi.
Saya protes kepada Guide itu, “Mengapa itu bisa terjadi, mengapa pemerintah Israel membiarkan diskriminasi itu?” Dengan senyum sambil melontarkan sepatah dua patah bahasa Arab, ibu cantik itu menjelaskan: “ya akhi ya habibi, kedua neighborhood itu adalah milik privat, tak ada urusannya dengan pemerintah. Beda orang-orang Yahudi dan Arab adalah, yang pertama suka sekali menanam banyak jenis pohon di taman rumah mereka, sedang yang kedua tidak. Itulah yang bisa kita pandang dari sini, mengapa Jerussalem Barat hijau dan Jerussalem Timur gersang.” Dough! Saya jadi ingat Bernard Lewis: “What went wrong?”
Ada banyak pertanyaan “what went wrong” setiap kali saya menyusuri tempat-tempat di Kota Tua. Guess what? Kota Tua dibagi kepada empat perkampungan (quarter): Muslim, Yahudi, Kristen, dan Armenia. Pembagian ini sudah ada sejak zaman Salahuddin al-Ayyubi. Menelusuri perkampungan Yahudi sangat asri, penuh dengan kafe dan tempat-tempat nongkrong yang cozy. Begitu juga kurang lebih dengan perkampungan Kristen dan Armenia. Tibalah saya masuk ke perkampungan Muslim. Lorong-lorong di sepanjang quarter itu tampak gelap, tak ada lampu, dan jemuran berhamburan di mana-mana. Bau tak sedap terasa menusuk.
Jika pertokoan di quarter Kristen tertata rapi, di quarter Muslim, tampak tak terurus. Ketika saya belanja di sana, saya hampir tertipu soal pengembalian uang. Saya sadar, quarter Muslim bukan hanya kotor, tapi pedagangnya juga punya hasrat menipu.
Namun, di antara pengalaman tak mengenakkan selama berada di perkampungan Islam adalah pengalaman masuk ke pekarangan al-Aqsa (mereka menyebutnya Haram al-Syarif). Ini adalah kebodohan umat Islam yang tak tertanggulangi, yang berasal dari sebuah teologi abad kegelapan. You know what? Saya dengan bebasnya bisa masuk ke sinagog, merayu tuhan di tembok ratapan, dan keluar-masuk gereja, tanpa pertanyaan dan tak ada penjagaan sama sekali.
Tapi begitu masuk wilayah Haram al-Syarif, dua penjaga berseragam tentara Yordania dengan senjata otomatis, diapit seorang syeikh berbaju Arab, menghadang, dan mengetes setiap penziarah yang akan masuk. Pertanyaan pertama yang mereka ajukan: “enta Muslim (apakah kamu Muslim)?” Jika Anda jawab ya, ada pertanyaan kedua: “iqra al-fatihah (tolong baca al-fatihah).” Kalau hafal Anda lulus, dan bisa masuk, kalau tidak jangan harap bisa masuk.
Saya ingin meledak menghadapi mereka. Saya langsung nyerocos saja dengan bahasa Arab, yang membuat mereka tersenyum, “kaffi, kaffi, ba’rif enta muslim (cukup, cukup, saya tahu Anda Muslim).” Saya ingin meledak menyaksikan ini karena untuk kesekian kalinya kaum Muslim mempertontonkan kedunguan mereka. Kota Tua adalah wilayah turisme dan bukan sekadar soal agama. Para petinggi Yahudi dan Kristen rupanya menyadari itu, dan karenanya mereka tak keberatan jika semua pengunjung, tanpa kecuali, boleh mendatangi rumah-rumah suci mereka.
Tapi para petinggi Islam rupanya tetap saja bebal dan senang dengan rasa superioritas mereka (yang sebetulnya juga tak ada gunanya). Akibat screening yang begitu keras, hanya sedikit orang yang berminat masuk Haram al-Syarif. Ketika saya shalat Maghrib di Aqsa, hanya ada dua saf, itupun tak penuh. Menyedihkan sekali, padahal ukuran Aqsa dengan seluruh latarnya termasuk Qubbat al-Shakhra sama besarnya dengan masjid Nabawi di Madinah. Rumah tuhan ini begitu sepi dari pengunjung.
Tentu saja, alasan penjaga Aqsa itu adalah karena orang-orang non-Muslim haram masuk wilayah mesjid. Bahkan orang yang mengaku Muslim tapi tak pandai membaca al-Fatihah tak layak dianggap Muslim. Para penjaga itu menganggap non-Muslim adalah najis yang tak boleh mendekati rumah Allah.
Saya tak bisa lagi berpikir. Sore itu, ingin saya kembali ke tembok ratapan, protes kepada Tuhan, mengapa anak bontotnya begitu dimanja dengan kebodohan yang tak masuk akal.
———
Luthfi Assyaukani (orang Paramadina Mulia Jakarta) yang menganggap teks Al-Qur’an mengalami copy editing oleh para sahabat. Ungkapan untuk meragukan kemurnian Al-Qur’an ini disiarkan lewat internet JIL, islamlib.com: “Saya cenderung meyakini bahwa Alquran pada dasarnya adalah kalamullah yang diwahyukan kepada Nabi tapi kemudian mengalami berbagai proses copy-editing oleh para sahabat, tabi’in, ahli bacaan, qurra, otografi, mesin cetak, dan kekuasaan.” (Islamlib.com –Merenungkan Sejarah Alquran, Oleh: Luthfi AssyaukanieTanggal dimuat: 17/11/2003).
hm, pak lutfi ini dibayar berapa yak??
di sini di melbourne, bbrp waktu lalu di acara lateline, australia current affair tV program, dibahas ttg betapa saat ini informasi yang kita terima dari dunia barat, bukanlah fakta yang sebenarnya.
SI Pembawa acara interview STephen kimber, dosen di king’s college, halifax, canada. Pak stephen ini dulunya 15 thn bekerja sebagai jurnalist di halifax daily. sejak saham HD ( Dan semua media di canada) dibeli 1 keluarga kaya keturunan yahudi yang mendukung zionisme israel (krn tdk semua yahudi ternyata mendukung zionisme israel), setiap tulisan hrs diedit, TIDAK BOLEH MEMBEBERKAN FAKTA KEJAHATAN INTERNASIONAL ISRAEL thdp palestina, ATAU MEREKA AKAN DIPECAT JIKA MEMBERITAKAN FAKTA YANG BURUK TTG ISRAEL(sudah rahasia umum bagaimana israel sering melanggar -bahasa hukumnya BREACH (Pelanggaran berat) terhadap perjanjian internasional tp krn sistem PBB kacau, tdk mungkin DK Mengeluarkan aksi terhadap israel, krn amerika –yg secara ekonomi– pasti akan menggunakan hak veto)
nah kali ini israel pintar, mengundang tokoh yang jelas2 tidak jelas landasan islamnya ini dan melalukan make over agar pemerintah israel keliatan bagus..
Mitos The Promised Land Israel
Tanah yang dijanjikan (the promised land) adalah isu utama yang digunakan sebagai dalih dalam menggalang gerakan Zionisme dan menegakkan Negara Yahudi (the jewish state) yang digagas oleh Theodore Hertzl. Isu inilah yang kemudian dijadikan alasan untuk mengagresi tanah Palestina, mengusir warganya, dan melakukan pembantaian demi pembantaian hingga detik ini.
Kebohongan semacam inilah yang seringkali dijadikan alat oleh Israel untuk mempengaruhi negara-negara di dunia agar mereka mau memaklumi aksi Israel tersebut, sebagaimana kebohongan tragedi holocaust yang penuh manipulasi itu.
Sejarah “tanah yang dijanjikan” itu dalam kacamata Islam sebenarnya sebagai berikut :
Allah SWT berkehendak melengkapi rahmat-Nya bagi Bani Israel, oleh karena itu Musa as berkata kepada mereka:
“Wahai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu.” (QS. al-Maidah: 21).
Ketika Bani Israel mendengar ini, mereka enggan karena takut terhadap para thaghut (penguasa zalim) yang tinggal di sana.
Allah SWT ingin agar Bani Israel membebaskan Tanah Suci, agar penduduknya hanya menyembah Dia. Tetapi Bani Israel lebih menyukai hidup enak. Mereka ingin memperoleh segala sesuatu melalui mukjizat. Sehingga mereka pun berkata kepada Musa:
“Hai Musa, sesungguhnya dalam negeri itu ada orang-orang yang gagah perkasa, sesungguhnya kami sekali-kali tidak akan memasukinya sebelum mereka keluar dari sana. Jika mereka telah ke luar dari situ, pasti kami akan memasukinya.” (QS. al-Maidah: 22).
Dengan demikian, mereka sebenarnya ingin berkata pada Musa as: “Pergi dan usirlah orang-orang itu dari tanah suci, supaya kami bisa masuk ke sana.”
Hanya dua orang –dari ribuan orang Bani Israel– yang bersedia bangkit dan berkata:
“Serbulah mereka dengan melalui pintu gerbang (kota) itu, maka bila kamu memasukinya niscaya kamu akan menang. Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. al-Maidah: 23).
Namun mayoritas Bani Israel –yang pengecut itu– berkata pada Musa as:
“Hai Musa, kami sekali-kali tidak akan memasukinya selama-lamanya, selagi mereka ada di dalamnya, karena itu pergilah kamu bersama Tuhanmu, dan berperanglah kamu berdua, sesungguhnya kami hanya duduk menanti di sini saja.” (QS. al-Maidah: 24).
Lagi-lagi Bani Israel mengingkari utusan Allah, yaitu Musa as. Mereka berkata kepadanya: “Jika kau menginginkan perang, maka kau dan Tuhanmu yang pergi!” Musa as menjadi sedih, maka ia pun menengadah ke langit dan berkata:
“Wahai Tuhanku, aku tidak menguasai kecuali diriku sendiri dan saudaraku. Sebab itu pisahkanlah antara kami dengan orang-orang yang fasik itu.” (QS. al-Maidah: 25).
Karenanya, Allah SWT pun murka kepada Bani Israel, karena telah menyakiti dan tak mematuhi perintah Musa as.
Akhirnya Allah SWT mengazab Bani Israel dalam bentuk keterasingan mereka di alam liar gurun pasir Sinai selama empat puluh tahun. Mereka hidup di tempat-tempat berbeda di gurun pasir tersebut selama masa itu. Dengan demikian, jelaslah bahwa isu “tanah yang dijanjikan” tersebut telah selesai dan berakhir, dikarenakan penolakan dan pengingkaran kaum Yahudi sendiri.
Kenyataan historis Islam tersebut semakin dipertegas oleh pernyataan kelompok Yahudi yang tergabung dalam organisasi Neturei Karta, sebuah organisasi yang menentang keras gerakan Zionisme. Mereka menyebut diri mereka sebagai kelompok Yahudi Judaisme, untuk membedakan dengan kelompok Yahudi Zionisme.
Mereka menyatakan :
“Judaisme merupakan keyakinan yang berasaskan pada wahyu di Sinai. Keyakinan ini meyakini bahwa pengasingan adalah hukuman bagi kaum Yahudi dikarenakan dosa-dosa mereka. Sedangkan Zionisme telah lebih dari seabad menolak wahyu di Sinai. Keyakinan ini menyatakan bahwa pengasingan kaum Yahudi dapat diakhiri melalui agresi militer. Zionisme telah merampas hak warga Palestina. Mengabaikan tuntutan mereka, dan menjadikan mereka target penganiayaan, penyiksaan, dan pembunuhan.
Kaum Yahudi Taurat di dunia terkejut dan terlukai dengan dogma irreligius dan kejam ini. Ribuan ulama dan pendeta Taurat telah mengutuk gerakan tersebut. Mereka tahu bahwa hubungan baik kaum Yahudi dan Muslimin sebelumnya di Tanah Suci (Palestina) telah terlukai oleh gerakan Zionisme. Negara Israel, yang disangsikan itu, berdiri menentang Taurat. Karena itu, kami Neturei Karta berada di garis depan perang melawan Zionisme selama lebih dari seabad. Kehadiran kami adalah untuk menolak kebohongan dan kejahatan, yaitu Zionisme, yang sedikit banyak mengatasnamakan orang-orang Yahudi. Berdasarkan keyakinan Yahudi dan hukum Taurat, kaum Yahudi terlarang untuk memiliki negara sendiri, sementara menunggu datangnya sang Mesiah.”
Prof. Roger Garaudy, seorang ilmuwan Perancis, menyatakan bahwa isu “tanah yang dijanjikan” versi Israel tersebut merupakan mitos. Sehingga, yang sebenarnya terjadi adalah “tanah yang ditaklukkan” (the conquered land), bukan “tanah yang dijanjikan” (the promised land). Ia memberikan bukti-bukti konkrit yang mendukung pernyataannya tersebut dengan mengacu pada literatur-literatur Yahudi dan Nasrani.
Dengan demikian, isu “tanah yang dijanjikan” yang digunakan oleh Israel sebagai dalih pendudukan atas Palestina sebenarnya bukan merupakan ajaran Taurat, bukan pula ajaran Injil.
Dan memang kenyataannya kaum Zionis tidak berpedoman pada Taurat. Mereka lebih berpegang pada kitab suci lain yang bernama Talmud, atau yang kemudian dikenal juga dengan sebutan Shulhan Arukh, yaitu kitab yang ditulis oleh seorang Rabi Yahudi yang bernama Joseph Ben Ephraim Caro di abad ke-16 M. Kitab Talmud ini mengajarkan pandangan-pandangan yang buruk, diantaranya adalah :
Kaum Yahudi adalah kaum pilihan Tuhan. Selain kaum Yahudi adalah binatang dan pagan (penyembah berhala).
Kaum Yahudi harus selalu bekerja keras untuk meruntuhkan bangsa dan kaum lainnya, agar kaum Yahudi dapat menguasai dunia.
Kaum Yahudi diizinkan untuk mencuri harta benda selain kaum Yahudi.
Kaum Yahudi diizinkan untuk berbuat curang kepada selain kaum Yahudi, menjalankan riba pada mereka, dan memaksa mereka untuk menjual semua miliknya kepada kaum Yahudi.
Wssalaam,
Sumber Referensi :
Roger Garaudy, “The Founding Myths of Israeli Politics”.
Kamal al-Sayid, “Kisah-kisah Terbaik Al-Qur’an”, hal. 208-209 dan 214-215, penerbit Pustaka Zahra.
http://www.nkusa.org…, “Judaism versus Zionism”.
http://www.nkusa.org…, “Judaism and Zionism Are Not The Same Thing”.
Muhammad al-Syarqawi, “Talmud”, penerbit Sahara.
Kalau menghina Islam atau Nabi Muhammad di Eropa bebas dilakukan tanpa sanksi hukuman. Alasannya kebebasan berpendapat atau HAM.
Sebagai contoh Salman Rushdie yang menghina Al Qur’an dengan Ayat-ayat Setan (Satanic Verses) dan hinaan lain justru dilindungi dan diberi berbagai penghargaan.
Namun jangan coba2 menghina Yahudi. Bisa dikenakan pasal AntiSemitisme. Jangankan menghina, menolak cerita Holocaust saja dianggap kejahatan.
Uskup Inggris Richard Williamson dipaksa minta maaf karena menolak Holocaust oleh Yahudi. Padahal pennolakannya cukup ilmiyah.
Bayangkan menurut Yahudi: “Sejumlah data mengungkapkan korban holocoust mencapai sembilan hingga 11 juta jiwa”. Angkanya saja tidak pasti 9-11 juta Yahudi katanya tewas akibat Holocaust sementara sumber yang lain menyebut 6 juta. Jadi angkanya disebut asal-asalan.
Lantas jumlah Yahudi yang selamat berapa? Jumlah seluruh Yahudi di Eropa (terutama di Jerman) memang sampai lebih dari 11 juta?
Lah jumlahnya di Israel saja tidak sampai 7 juta sementara di Jerman hanya 200 ribu, di Perancis cuma 600 ribu sementara di Inggris yang bebas NAZI hanya 300 ribu. Jadi 11 juta Yahudi tewas akibat Holocaust sulit dipercaya. Hanya orang bodoh atau yang benar2 pro Yahudi saja yang mau mempercayainya.
Oleh karena itu wajar jika Uskup Inggris tsb meragukan Holocaust. Angkanya terlampau berlebihan dan tidak masuk akal. Dan harus diingat bahwa korban Perang Dunia II itu totalnya 54 juta jiwa (termasuk Indonesia 1 juta orang tewas saat penjajahan Belanda dan Jepang). Jadi tak bisa bangsa Yahudi dengan dalih korban Holocaust mendapat berbagai keistimewaan termasuk membantai bangsa Palestina dalam Holocaust baru yang terekam berbagai foto dan video.
Uskup Inggris, Richard Williamson yang beberapa waktu lalu mengingkari Holocaust (Genosida atau pembasmian etnis Yahudi selama Perang Dunia Kedua) dipecat sebagai kepala seminari agama di Argentina. Williamson telah diturunkan sebagai kepala seminari La Reja di pinggiran ibukota Argentina, Buenos Aires karena mengingkari Halocaust. Menurut laporan ini, Kepala Komunitas Katolik Pius X cabang Amerika Latin, Christian Bouchacourt lewat sebuah pernyataannya mengkonfirmasikan pemecatan Williamson.
Beberapa waktu lalu, Kanselir Jerman, Angela Merkel mendesak Vatikan untuk tidak menerima Williamson sebagai uskup di Gereja Katholik Roma sebelum ia menarik pernyataannya tentang Holocaust. Sebelumnya, Richard Williamson mengatakan bahwa dirinya tidak percaya tentang keberadaan kamar-kamar gas dan menolak Holocaust. Meski Williamson telah meminta maaf kepada Paus Benediktus XVI, namun ia tidak bersedia menarik kembali pernyatannya.(Irib/rdst)
Wahai Muslims..
Sampai kapan anda terus menghasut dan menghina Yahudi?
Kenapa Anda tidak meneliti saja ke ISREAL membuktikan catatan Luthfie adalah KELIRU?
Penghinaan Anda terhadap Luthfie, hanya menunjukan kepicikan Anda terhadap FAKTA yang sebenar-benarnya.
Otak Anda sudah tertutup Kaaba dan Mata Anda sudah kelilipan Hajar Aswad.
Bertobatlah!